Selasa, 30 Desember 2008

Kelabu

Dua hari menjelang tahun baru, kepala tiba-tiba pening. Seolah sel-sel kelabu di dalamnya berdenyut, menarik-narik akar rambut. Ya, beberapa jam setelah pertengkaran hebat memang. Aku membanting tubuhku sedemikian hebat, di antara kelelahan setelah seharian bekerja. Aku tiba-tiba teringat rumah biru-ku. Tempat pertama kali kita bertemu. Indah sekali, terutama saat cahaya keperakan matahari terbenam memeluk atapnya yang terbuat dari helai-helai pohon kelapa. Aku lihat kau pertama kali saat membuka jendela. diantara setapak, kaki kecilmu berjinjit ringan, membawa tubuhmu yang ramping menyeruak diantara ilalang...sejak saat itu aku memujamu. Lalu seseorang bertanya kepadaku, kenapa aku begitu menyukai abu-abu...aku hanya menjawab tidak tahu...

Kamis, 25 Desember 2008

Malam suci

coba tebak? beberapa hari ini tidak turun hujan. Kering, panas matahari telah meninggalkan jejak kelabu di kulit. keringat menetes deras, dan aku masih diam melihat satu persatu lilin dinyalakan, sembari lagu pujian di lantunkan, hiasan berbentuk hati yang dikaitkan dengan tali di bergerak perlahan tertiup angin. bergegas aku meniti tangga yang berkelok berputar, bunyi kayu tergesek berderit menyayat hati. Hari yang sangat indah, sayang panasnya tidak terkira....Buku warna merah di tangan tampak kusam, tapi sejurus cahaya meyembul dari sela-sela kertas yang rapi terjilid. Ini lagunya, lagu pujian, semuanyapun berdoa khusuk, selamat Natal sahabat, maaf aku harus segera pergi dan tidak sempat kukecup keningmu.......

Kamis, 04 Desember 2008

Krisan

Awal Desember, saat anak-anak hujan rajin sambangi pucuk-pucuk bukit. Aku meningglkan krisan ku. Tak ada lagi yang harus diperbuat. Kehidupan memang harus berubah dan terus berputar. Bumi menjadi basah, dan semua orang berlindung di dalam bilik-bilik bambu di sepanjang jalan. Aku terus memacu sepeda tuaku...saat kutatap wajahnya untuk terkhir kali, aku tidak melihat senyum manisnya yang selalu mengantarkanku pergi dan menemaniku saat akan kembalike hutan mimpi untuk berburu harapan. Hanya seringai...."Biarlah..." kehidupan memang tidak selamanya menjual mimpi, terkadang dia memberikan kenyataan yang pahit, seringai yang lelap tidur dipelupuk mataku, tak kuasa mengusir, walau tidak bisa menumpahkan air mata-ku, dan kini aku berada di ladang krisan..ribuan krisan.....

Selasa, 28 Oktober 2008

Krisan

Krisan yang cantik..sejak aku menyusuri jalan setapak kemarin malam, aku sudah tidak bisa lagi mencium aroma malam. aku hanya merasakan dingin di kaki ku. embun yang menyelimuti ilalang kini menempel di kaki hingga sebatas lutut. Aku terus berjalan walau aku tahu jam telah menunjukkan hampir dini hari. Saat aku mencoba mendengarkan detak jam berbunyi..aku hanya merasakan nafas yang tersengal akibat lelah. Krisan kau buat hariku lebih berarti..walau dalam menjalaninya hanya ada kepongahan dan keangkuhan aku yang kerap membuatmu bersedih, sehingga menenggelamkanmu dalam lamunan. Lima tahun yang lalu krisan..saat kusadari bahwa dirimu indah adanya..seperti mentari yang baru terbit setelah hujan semalaman. Kini di telapak tangan ku kau, krisan, terlelap, dan kubawa tidur semalam tadi walau aku tahu hari telah berganti..dan kau telah meninggalkanku bersama hujan tadi pagi...selamat jalan krisan..aku akan mengingatmu seperti malam yang indah adanya.....

Rabu, 30 Juli 2008

Sampai Disini....

Dengar krisan..saat pertama kali kulihat dirimu bermandikan cahaya pagi, berselimuti kabut tipis, disitu telah kugantungkan mimpi. Seorang pembual akan berhenti membual. Walau bibirku mengering, mengelupas, seperti tanah coklat dimusim kemarau. Saat itu tak ada lagi air mata yang keluar dari seorang gadis yang bersedih karena kekasih tak kunjung kembali. Krisan kapal mimpi ku telah lama karam, tenggelam dan terbenam bersama lumpur kesendirian. dan aku tetap merasa sendiri kini...kau ada hanya dalam pikiran, dan krisan yang menyejukkan siap melompat keluar melalui daun jendela. dan mengabur bersama debu siang.

Selasa, 24 Juni 2008

24 Jam Yang Lalu

Dan aku memang tidak sedang membacakan dongeng, seperti dulu pada masa kecil saat nenek membacakan dongeng sebelum aku tidur. Semua tokoh dalam cerita tersebut begitu nyata, dan semua bergerak memantul di kaca mata nenek. ya, dan aku akan menertawakan saat sebuah pohon besar akhirnya kembali menimpa sang buaya pada cerita Si Kancil. Dan kini di bawah terik matahari, aku sibuk menulis cerita. dengan ranting menuliskannya di atas daun kering. Sampai kapanpun aku tak tahu...dan kau, memutuskan sambungan telpon saat aku menceritakannya. Ini mungkin kisah nyata dan akan menjadi nafas legenda pribadi. seperti saat santiago begitu yakin terhadap lautan pasir gurun yang akan memberikan arah pada akhir mimpinya, juga menemukan kembali potongan tulang rusuknya yang hilang dan bersembunyi di sumur-sumur osis dan desah nafas yang tersangkut di ranting ratusan pohon kurma. Namanya Fatima......dan kita memang tidak hidup di lembar-lembar kertas, dan mengaburkan diri kita bersama jutaan huruf, tanda baca, dan angka yang membentuk sebuah cerita yang diinginkan. Pernahkah kau sadar 24 jam yang lalu aku terus memandangi wajah bulan dan mencoba menebak bahwa kau juga sedang melakukannya.

Sabtu, 24 Mei 2008

Abu Abu Yang Rapuh

Kipas angin tua berputar perlahan, deritnya menyatu dengan dingin malam. Sudah beberapa hari ini, aku memilih hidup bersama derit kipas angin tua di dalam kamar kos, dan sudah berpuluh sketsa dihasilkan selama itu. Menggariskan ingatan tentang dunia yang hilang. merangkai genggaman tangan saat menyusuri bukit di belakang rumah, atau memandang camar yang kehilangan arah nun jauh di ujung cakrawala. Sudah lama sekali krisan...Ribuan detik memang tidak terbuang percuma, ingatan itu terus mengendap dan mengeras, membatu bersama mimpi saat pertama kali kita berjanji. Di hadapan dinding biru ruang kuliah, kutancapkan kata "tunggu !" di keningmu. Tahun depan aku akan kembali, membawa serta mimpi yang kau tanam jauh di dalam hatiku, dan selalu kau sirami dengan derai air mata. Mimpi yang tumbuh subur di antara kesedihanmu. Aku hanya abu-abu yang rapuh.......