Selasa, 25 Maret 2008

Berpisah


Dari balik jendela, kulihat bukit-bukit berselimut rumah-rumah kecil. Saling berhimpitan, menutup bukit renta. Menutupi seluruh tubuh. Seperti membran pekat warna hitam. Dan aku lihat sepanjang malam dari balik jendela. Bukit yang sebelumnya hijau, kini menjadi warna-warni. Hitam, merah, hijau, biru, kelabu, juga violet. Ceria memang. Tapi setiap satu kuas yang dipulas di dinding rumah yang menyelimutinya, satu luka terbuka menganga. Dan aku lihat itu sepanjang malam.....
Tidak ada ruang lagi untuk bernafas. tidak ada lagi ruang untuk bercerita. tidak ada jendela lagi untuk melihat, walau itu hanya sekedar mengintip saja. Hanya sayup-sayup debur ombak memanggil. Terbawa kepak sayap camar yang tersesat. Dan bukit itu kini berdiri sendiri, di antara keramaian cerita. Dahulu bukit tersebut terdapat banyak pohon menjulang. dengan bijaksana melihat kota di sepanjang bibir pantai berkembang.....

Senin, 17 Maret 2008

Kata Bertuah...

Di saat terakhir dia akan mengucapkan kata berpisah, perlahan satu jari kutempelkan ke birbirnya, aku tahu ini tidak akan berhasil, tapi apa salahnya mencoba, kehidupan menyediakan keberhasilan, juga berjuta-juta kegagalan, dan mungkin aku akan mendapat salah satu dari keduanya. "kita coba lagi..."ujarku. Jelas masih teringat, jari dinginku menyentuh birbirnya yang hangat, dan saat itu rintik hujan menyembul dari kelopak matanya yang indah. Aku diam kembali, dan ini yang membuatnya tersiksa, mencoba bertahan atas segala ketidak pedulian, ketidakpekaan, dan ketidakmengertian, dan aku hanya pengelana, dan tidak bisa menjanjikan sebuah taman cinta yang banyak dimiliki para pujangga. Yang kutahu hanya bagaimana dia harus mengerti tentang sampan kehidupan yang penuh tambal yang kupunya, dan hampir selalu menenggelamkanku saat badai datang. Ya, dan ini terakhir kali aku melihat senyummu, dengan diiringi rintik hujan dari kelopak indah matamu, melambaikan tangan ke arahku yang yang pergi menjauh ke tengah lautan. Dan kini dia hadir di depanku, setelah perpisahan lama yang menyakitkan, wajahnya yang sebelumnya tertanam dalam kini terangkat perlahan, lalu menampik jariku dari bibirnya, dan seuntai senyum terkembang kembali...
Itu hadiah terindah yang pernah dia berikan padaku.

Wajah Suara

Entah kenapa saat lautan gelap membunuh jutaan pedar lampu. dan semua bayang sirna. Setitik suara membangkitkan semangat yang hampir karam oleh malam. Di ujung waktu ditemani detik jam yang terbuang bayangan dirimu yang terserak, mulai terangkai. Dan sepanjang dua tahun inilah. Aku mulai melihat kau tersenyum.
Sejalan waktu, pernah diceritakan dalam roman picisan saat seorang buta begitu mempercayai kekasih terkasih hanya dengan suaranya, sehingga saat dia diberi kesempatan untuk pulih, ia menampiknya. Karena ia merasa kesetian suara yang selama ini milik kekasihnya yang membuat dirinya ada saat menjalani kehidupan tanpa cahaya. Ia takut kesetiaan itu hilang dengan warna. Ia takut kecintaan itu sirna oleh kecantikan. dan ia hanya mencintai suara melebihi yang lainnya.....
Lalu suara hadir selama sepi. Lalu suara hadir saat dinding kamar semakin tinggi menjulang. Dan aku merasakan kau seolah ada di balik dinding. Selama ini. Dan aku begitu mempercayai. Hingga suara itu hilang dan juga dirimu. walau dinding itu hancur. dan ruangan yang sebelumnya terpisah kini menjadi satu. dan tidak ada suara yang kukenal juga dirimu. Saat itu kutahu bahwa suara juga bisa menipu. Seolah ada karena gema, entah di bumi mana ia berada. Dan saat gelap datang, suara itu hilang, aku hanya melihat seekor kunang-kunang di ujung lapang di balik jendela.
Dan aku harus belajar mempercayai lainnya dari suara.

Berjalan di Pinggir Pulau

Ini baru sebuah permulaan cerita, sebelumnya tersimpan di balik lembar-lembar kertas coklat. Temanku pena telah memberiku sebuah rumah satu hari sebelum kematiannya. Rumah itu kini telah menanti untuk ditempati. berwarna biru laut, dengan jendala berwarna abu-abu. Dan aku akan melihat diriku begitu bahagia. Dari balik jendela memandang orang yang berlalu-lalang di antara perbukitan dan menyapa. Selamat bermimpi...
dan aku akan tersenyum semanis seperti biasanya. "Ya, selamat bermimpi kembali..." balasku menyapa. Pernahkah kau sebahagia ini, menjadi seorang pengelana di alam bawah sadar. Mendayung dengan tangan mencoba menundukkan lautan kegelapan, dan angin telah memadamkan satu-satunya cahaya. Dan aku akan berlari seperti anak kecil. Menyapa hujan. kemudian membasuhkan airnya yang sejuk ke hati ku yang kesepian.
Hujan, Rumah Biru, dan Lautan. Kulitku kini legam terbakar matahari, yang menyengat tanpa melihat bahwa aku sudah sangat tersiksa dengan teriknya. Dan aku akan mencintainya selama-lamanya, Hujan, Rumah Biru, dan Lautan.